Tembang Cianjuran ini mula-mula dirintis oleh Regent Cianjur Raden Aria Adipati
Kusumahningrat yang bergelar Dalem Pancaniti (1834 – 1862), beliau seorang yang cerdas,
taat beragama, perhatiannya besar pada kebudayaan Sunda terutama kesenian (Surianingrat;
1982, 1940-1942; Sueb, 1997; Kurnia., dkk, 2003, 48-50). Perhatian beliau terhadap seni,
tidak serta-merta muncul, bakat dan sifat beliau secara turun-temurun diwariskan oleh
leluhurnya sejak putra pendiri ”Nagara Cianjur” Aria Wangsa Goparana bernama R.
Candramanggala kemudian turun-temurun sampai kepada Dalem Pancaniti.
Pada awalnya kesenian ini hanya berkembang seputar kadaleman, kemudian menyebar ke
seluruh Pasundan. Mulanya Tembang Cianjuran hanya dinyanyikan oleh kaum pria, putri
hanya boleh menyanyi lagu panambih (Kurnia, Ibid) namun menginjak abad ke-20 muncul
para penembang wanita. ( Ibid).
Kini tembang berkembang ke berbagai aspek kehidupan antara lain sebagai berikut: Pada
kedinasan penerimaan pimpinan baru dan pelepasan pimpinan lama, dan melepas seseorang
menjalani masa pensiun terdengar alunan kelembutan tembang. Pada rangkaian upacara adat
perkawinan, petatah-petitih sejak upacara penyiraman calon mempelai sampai upacara sawer
sehabis akad nikah dilantunkan tembang.
Rumpaka pun mengalami perkembangan, menurut Dadan Sukandar seorang penembang
Cianjuran berusia lanjut, sebelum tahun tujuhpuluhan isi rumpaka seputar perenungan
keagungan ciptaan Tuhan dan keluhuran budi para raja Sunda namun kemudian bergeser ke
hal-hal yang bertemakan cinta (Pikiran Rakyat, 27 Januari 2007).
Asal-usul Rumpaka Tembang seperti dikemukakan sebelumnya, ada dua pokok yakni
dalam bentuk pupuh yang terikat oleh dangding, kedua cuplikan-cuplikan dari kesenian
pantun yang tidak terikat oleh metrum pupuh tersebut. Rumpaka yang berbentuk pupuh memiliki asal-usul yang sangat beragam, yakni dari wawacan, guguritan, penciptaan khusus
bait-bait tertentu, dan penciptaan khusus dalam lagu tertentu (rumpaka sanggian).
Rumpaka yang berasal dari wawacan memiliki variasi bentuk sastra yang beragam.
Wawacan adalah ceritera yang dibangun oleh bentuk-bentuk pupuh, merupakan pengaruh
dari kesusastraan Jawa (Lihat tentang pupuh). Dari kata wawacan muncul kata mamaos yang
berarti menembang, maos bahasa halus dari maca (membaca).
Karena lahirnya dari bentuk wawacan inilah kiranya muncul bentuk-bentuk unik dalam
rumpaka Tembang Cianjuran, antara lain terdapat rumpaka berbahasa Jawa dan transformasi
dari ceritera Jawa di antaranya; cuplikan dari kisah Roro Mendut.